Rabu, 31 Juli 2013

Makan Malam Kita


DIA sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Bukan saja penanda waktu padahandphone menunjukkan tanggal yang telah dilaluinya, suasana pagi itu pun benar-benar tak asing dan masih hangat dalam ingatannya. Pagi yang mendung, dingin yang merayap masuk lewat celah jendela, bunyi teratur dari hamsternya yang berlari-lari di kitiran. Ia mencoba bangkit. Dilihatnya benda itu masih di sana, sebuah kotak lampu yang dibungkusnya dengan rapi, sebuah kotak berisi sesuatu yang diberikannya kepada perempuan itu kemarin. Ya, kemarin. Dia ingat betul kemarin siang kotak itu dimasukkannya ke dalam tas tangan merah yang dibawa pulang perempuan itu. Dia juga ingat betul perempuan itu mengambil dan membuka salah satu ujung kotak itu untuk melihat isinya ketika mereka di bandara. Dia ingat betul senyum perempuan itu, juga kata-kata yang keluar dari lidahnya usai dia menggodanya kalau-kalau perempuan itu tidak tahu apa isi kotak itu. “Baju Doraemon,” kata perempuan itu. Dia ingat betul kejadian itu. Dan kini kotak itu tepat ada di depan matanya. Utuh. Dia masih berusaha mencerna apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Tentu saja dia menolak penjelasan bahwa peristiwa itu hanyalah mimpi. Mimpi biasanya tak lengkap, pikirnya, keterkaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya seringkali tak jelas, kabur, dan banyak diantaranya terlupakan. Sementara apa yang terjadi kemarin, dalam ingatannya begitu jelas antara yang satu dengan yang lainnya, terurut, detil dari pagi hingga malam. Tak mungkin itu mimpi, tegasnya. Dilihatnya, dia mengenakan pakaian yang dikenakannya kemarin pagi.

Dia mengambil handphone dan mengecek pesan terakhir yang masuk. Benar saja, pesan itu diterima pada tanggal 18 September 2012 pukul 01:13 a.m. Dia melihat lagi tanggal di handphone, memastikan bahwa matanya tidak keliru. Dia bahkan sampai membuka aplikasi kalender untuk memastikan bahwa hari itu adalah Selasa. Dilihatnya kembali kotak itu, baju yang dikenakannya, tanggal pada handphone. Apakah aku sedang bermimpi? pikirnya. Kembali dilihatnya pesan terakhir di handphone itu: Selamat tidur, Hanee… Terima kasih banyak untuk segalanya.


JIKA benar ini terjadi, pikirnya, karyawan Alfamart itu akan berkata bahwa tas Hello Kitty sudah habis. Kemarin pagi seingatnya dia mampir dulu ke Alfamart untuk menanyakan tas lucu itu. Perempuan itu sangat menginginkannya. Ia ingin sekali menyenangkan perempuan itu di pertemuan terakhir mereka. Namun sayang stok tas itu sudah habis, tak tersisa satu pun di gudang. Itulah setidaknya pengakuan karyawan Alfamart yang namanya tak sempat ia ingat itu. Dan, betapa ia tak lagi terkejut, karyawan itu—orang yang sama dalam ingatannya—mengatakan padanya bahwa tas itu sudah habis, tak tersisa satu pun di gudang. Ia bahkan disarankan karyawan itu untuk mengecek di Alfamart lainnya yang ada di kawasan itu, di utara dengan waktu tempuh lima menit jika berjalan kaki. Persis, itulah yang disarankan karyawan itu padanya kemarin pagi. 

Selanjutnya ia melakukan apa-apa yang dilakukannya kemarin, persis dengan urutan yang sama. Ia memasuki Alfamart kedua, menanyakan tas Hello Kitty, berhadapan dengan karyawan menyebalkan. Ia membeli bubur ayam Ciampea kesukaan perempuan itu, naik angkot dua kali, turun di stasiun. Setiap detilnya, terurut mulai dari membeli tiket kereta sampai turun dari becak di depan rumah tempat perempuan itu berada, hadir dengan sempurna, tanpa perbedaan satu pun. Kalaupun perbedaan itu ada, itu adalah ia yang tak lagi antusias. Ia telah tahu apa yang akan dihadapinya usai detik ini, menit ini. Ia tinggal melakukan hal yang sama dan apa yang terjadi kemarin akan terjadi lagi dengan persis sama. Seperti itulah. Ia tak lagi menanti-nanti dengan debar hati dan rasa cemas yang membuatnya bergairah. Ia telah tahu, dan itu membuat semuanya tak mengasyikkan lagi baginya. Ia mulai merasa akan kehilangan kegembiraan yang seharusnya didapatkannya di hari itu, hari terakhir ia dan perempuan itu bertatap muka dan saling menyelami mata.

Tapi biarlah, pikirnya. Aku akan menikmatinya.

Di ambang pintu, perempuan itu muncul. Ia membalas senyum perempuan itu dan untuk pertama kalinya ada rasa syukur dalam dirinya atas pagi yang ganjil itu. Perempuan itu duduk. Ia dan perempuan itu kini berdekatan. Ia mulai tak sabar. Di benaknya berkelebat hal-hal manis yang akan dilaluinya dengan perempuan itu dalam enam jam ke depan.


PETANG di bandara, ia tinggal sendiri. Perempuan itu telah masuk ke pesawat sekitar satu jam yang lalu. Kedua Tante yang ikut mengantar telah pulang beberapa saat setelah sosok perempuan itu tak tampak lagi. Sementara itu, di layar yang menayangkan keberangkatan pesawat-pesawat yang terbang hari itu, tampak penerbangan pesawat yang membawa perempuan itu sedang melakukan panggilan terakhir. Ia duduk lagi, menunggu. Berpuluh-puluh meter di hadapannya bis-bis datang untuk singgah lalu pergi.

Tiba-tiba saja ia begitu ingin mengirimi perempuan itu sms, atau bahkan meneleponnya beberapa saat, sekadar mengucapkan selamat jalan dan hati-hati. Jelas sudah, dua jam berdekatan di dalam bis, satu jam bercakap-cakap dengannya di bandara, beberapa detik berpelukan di pintu masuk, sangatlah jauh dari cukup untuk mengobati kerinduannya yang gila kepada perempuan itu.

Kenyataan bahwa selama dua jam di bis ia dan perempuan itu hanya bisa saling menggenggam tangan tanpa melakukan sesuatu yang lebih jauh menambah sesak yang dirasakannya. Padahal awalnya, perempuan itu sempat mendekatkan dirinya hingga kening dan pipi mereka bertemu. Ia pun sempat akan mencium pipi perempuan itu. Namun cermin itu, cermin di depan itu, menangkap bayangan mereka. Dua orang yang duduk persis di depan mereka—kedua Tante yang ikut mengantar—pasti bisa melihat apa yang mereka lakukan. Perempuan itu tak ingin itu terjadi. Ia merasa tak enak kepada mereka. Mungkin juga malu. Dengan berat hati ia mengiyakan ketidaknyamanan perempuan itu. Kepada perempuan itu ia sempat berbisik menyalahkan keberadaan cermin itu. Perempuan itu tersenyum dan berkata, “Kan udah kemarin.” Ia balas tersenyum. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak mencium perempuan itu yang selalu begitu cantik saat tersenyum dengan mata yang jujur. Aroma tubuh perempuan itu seolah menjadi tangan lain yang dengan gemasnya menarik dirinya ke dekat perempuan itu. Seandainya kami duduk di belakang, pikirnya, masih saja kesal.
Sekarang semua itu seperti kenangan yang perlahan menguap menyisakan hangat di hatinya. Perempuan itu sudah pergi. Beberapa saat yang lalu pesawat Lion Air penerbangan 368 dinyatakan take off. Ia menyiapkan dirinya untuk pulang. Langkah-langkahnya terasa berat. Senyum perempuan itu masih terbayang hingga ia tertidur lelap di dalam bis menuju Bogor.

Di ruas tol terakhir, handphone-nya berdering. Perempuan itu telah tiba di Medan. Dilihatnya jam di handphone. Jam sepuluh. “Sebentar lagi aku nyampeBogor,” katanya. Perempuan itu mengatakan akan meneleponnya lagi nanti. Ia pun menutupnya.

Sementara itu di luar, malam telah larut. Lampu-lampu serupa saksi yang meminta dikenali. “Aku akan menunggumu,” gumamnya, barangkali kepada perempuan itu. Sambil menatap ke langit kota, ia berterimakasih kepada Tuhan telah diberikan kesempatan kedua, sebuah hari yang ganjil, sebuah hari dengan penuh kebahagiaan, sebuah hari di mana ia kembali merasakan betapa perpisahan itu adalah tiran bagi sepasang insan yang saling merindukan. Ataukah ia keliru, hanya ia yang merasakan rindu itu? Entahlah. Ia tak tahu. Yang ia tahu, ia dan perempuan itu belum akan bertemu lagi untuk beberapa bulan ke depan. Di dalam hatinya ia berdoa, “Semoga Tuhan berbaik hati memberiku kesempatan ketiga.” Ia tahu, doa itu hanyalah doa.


KEESOKAN harinya ketika ia terjaga, matanya langsung mencari-cari kotak berisi baju Doraemon itu. Tak ada. Ia lemas. Di saat ia tak mengharapkan keajaiban, Tuhan justru memberinya keajaiban. Di saat ia mengharapkan keajaiban itu ada, Tuhan tak memberinya. Ya sudahlah, pikirnya. Bagaimana pun ia sangat beryukur telah diberi hari kemarin, satu hari lebih untuk dinikmatinya bersama perempuan itu. Lagipula bukankah hidup memang seperti itu. Ketika kebahagiaan datang bertamu, kesedihan akan menjadi tamu berikutnya. Ia bangkit, mengambil handphone.

Sesuatu membuatnya terdiam. Yang benar saja? pikirnya. Jika kemarin penanda waktu pada handphone menunjukkan hari sebelumnya, 18 September 2012, hari ini lebih ganjil lagi. Tanggal pada handphone adalah 17 September 2012. Ia kini kembali ke tiga hari yang lalu.

Ia mengamati jam. Masih sangat pagi. Jika benar ini adalah tiga hari yang lalu, pikirnya, aku harus bergegas. Pada tanggal ini ia dan perempuan itu janji bertemu di Lebakbulus. Ada sebuah bazar buku di kawasan itu. Ia telah berjanji kepada perempuan itu akan menemaninya ke tempat itu.
Ia berdiri. Di atas lemari tampak beberapa uang logam seribuan bertumpuk membentuk menara—yang diberikannya kepada perempuan itu tiga hari yang lalu. Ia menggelengkan kepalanya, tak habis pikir Tuhan memberinya keajaiban lain. Ia mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Dalam ingatannya, hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan baginya. Terbayang sudah di benaknya, ia dan perempuan itu di sebuah bis yang melaju pelan menuju Bekasi. Terbayang sudah sebuah ciuman yang tiba-tiba diberikan perempuan itu ketika mereka berada di lokasi bazar buku. Tak seperti kemarin, ia kali ini begitu antusias menghadapi hari yang ganjil itu.

Dan keeseokan harinya keajaiban masih berlanjut. Terbangun dengan rasa yang aneh, seolah beban berat tengah menimpanya, ia menyadari hari itu adalah Minggu. Selain tanggal pada handphone, telepon dari perempuan itu membuktikan dugaannya benar. Pada hari inilah perempuan itu dengan antusias menceritakan padanya tentang keinginannya untuk mendatangi sebuah bazar buku di kawasan Lebakbulus. Perempuan itu merengek-rengek seperti akan menangis. Ia mengabulkan permintaan perempuan itu sambil tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi esok hari. Jika dugaanku benar, pikirnya, esok hari adalah Sabtu.


BEGITULAH seterusnya hari-harinya berlalu. Besok hari adalah kemarin. Lusa adalah dua hari yang lalu. Setiap kali terbangun ia dikepung sekelumit ingatan yang meminta perhatiannya. Kadang ia tergesa-gesa menuju kamar mandi setelah menyadari bahwa ia terlambat bangun sementara ada janji yang harus ia penuhi hari itu. Kadang ia merasa matanya pedih dan menyadari bahwa malam harinya ia sempat menangis sekian lama. Ia merindukan perempuan itu, setiap harinya. Dan rasa rindu itu semakin manis dan mengganggu ketika ia justru melewati satu hari dengan perempuan itu hanya untuk melupakannya. Ia tak menikmati hasil dari apa yang dilakukannya kepada perempuan itu hari ini. Jika hari ini ia melakukan hal-hal baik kepada perempuan itu, ia harus paham bahwa ketika ia tidur nanti dan terjaga esok harinya, perempuan itu sama sekali tak akan mengingat hal-hal baik itu. Lebih buruk lagi, ia merasa hal-hal baik itu tak ada gunanya, selain mendatangkan kegembiraan yang hanya bertahan hingga matanya lelah.

Pernah suatu hari ia bersusah payah mengubah alur peristiwa yang akan dihadapinya. Dalam ingatannya, hari itu ia melakukan hal bodoh yang membuat perempuan itu mengabaikannya sekian lama, menunjukkan sikap tak senang, memasang dengan tegas sebuah tabir yang membuat mereka terpisah meski secara fisik sangatlah dekat. Ini kesempatan, pikirnya. Ia mencoba bersikap tenang, sambil memikirkan bagian mana saja yang harus ia ubah dan apa saja yang harus dilakukannya jika perubahan itu tak berdampak baik.
Kali itu ia berhasil. Dua puluh menit berjalan kaki dari stasiun Cikini ke Taman Ismail Marzuki digantinya dengan ongkos bajaj. Meski harga buku-buku di sana tetap mahal, ia dan perempuan itu menikmati saat-saat mereka di sana dengan riang. Di dalam bioskop pun, perempuan itu tak menjauhkan dirinya seperti pada kejadian pertama.

Namun kali lain ia gagal. Perubahan yang dilakukannya hanya menunda keburukan itu datang. Ia telah mencoba sabar, bersikap manis, tapi ada saja hal-hal kecil yang membuat perempuan itu mengabaikannya. Ingin sekali ia mengatakan kepada perempuan itu bahwa ia telah berusaha keras memperbaiki hari-hari mereka yang semula buruk namun urung juga. Ia sadar, ia ingat, mengatakan hal itu kepada perempuan itu hanya akan memperburuk keadaan. Ia memang menyebalkan ketika sedang marah, ujarnya pada diri sendiri. Terima saja, tambahnya. Lalu ketika hari berganti, seperti yang ia duga, kemarahan perempuan itu lenyap. Apa yang membuatnya kesal di hari sebelumnya sama sekali tak meninggalkan bekas padanya. Tentu saja, perempuan itu tak mengalami apa yang dialaminya. Untuk kasus yang satu ini ia merasa diuntungkan.
Tapi sampai kapankah ia akan menjalani kehidupan seperti itu? Pernah ia tanyakan hal itu pada dirinya. Tak ada jawaban. Ia sendiri sesungguhnya tak mengerti bagaimana sampai semua ini terjadi. Malam itu, beberapa jam setelah berpisah dengan perempuan itu di bandara, ia tak ingat meminta atau mendoakan sesuatu. Tak ingat. Yang ia ingat saat itu ia begitu sedih menyadari sosok mempesona itu tak akan bisa dijumpainya untuk jangka waktu yang tak pasti. Yang ia ingat adalah kata-kata perempuan itu yang dituliskannya di layarhandphone-nya: Makasih. Aku juga sayang kamu. Kamu jangan sedih ya. Saat itu ia baru saja mengatakan secara diam-diam kepada perempuan itu lewat layar handphone-nya: Aku sayang kamu, Nona…


DAN tibalah ia pada hari yang begitu penting, barangkali paling penting di antara hari-hari lainnya: Minggu, 14 Agustus 2011. Ia terbangun ketika hari telah siang. Ia ingat beberapa jam sebelumnya ia dan perempuan itu baru saja mengucapkan sebuah janji. Ia ingat apa yang ia katakan kepada perempuan itu dan apa yang dikatakan perempuan itu kepadanya. Ia merasa.. ringan, seakan-akan di kedua punggungnya telah tumbuh sayap yang siap membentang kapan saja ia membutuhkannya. “Aku kini memiliki seseorang,” gumamnya. “Dia mencintaiku,” tambahnya. Ia mengambil handphone. Begitu saja ia tersenyum mendapati pesan-pesan masuk yang mengisi handphone-nya belakangan ini.

Beberapa hari sebelumnya pun ia mengalami kegembiraan yang serupa—untuk tak mengatakan sama. Yang dimaksud di sini adalah hari-hari setelah tanggal 14, hari-hari di sisa bulan Agustus dan di sepanjang September yang meriah. Ia dan perempuan itu. Sms dan percakapan sepanjang malam. Wallpost-wallpostmesra. Sebuah kado. Ucapan dan doa lembut menjelang tidur. Hari-hari menyenangkan itu kembali dialaminya dan itu nyaris membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak memberi tahu perempuan itu apa yang sebenarnya tengah dialaminya. Namun membayangkan apa yang akan terjadi jika perempuan itu tahu, juga momen-momen yang terlampau indah untuk ia rusak dengan satu pernyataan konyol, membuatnya menguatkan diri. Ia tak perlu tahu, pikirnya. Ia pun mengambil handphone dan menelepon perempuan itu. Suara perempuan itu, baginya, serupa barisan angka yang seketika berubah jadi pernyataan cinta, membentangkan sayap-sayap mayanya begitu saja, membuatnya seolah melayang-layang di kamar itu.
Betapa anggunnya kebahagiaan itu, gumamnya.

Namun ketika malam tiba, ia memahami satu hal: hari ini adalah awal sekaligus akhir. Sampai detik itu mereka adalah sepasang kekasih, dua orang yang saling mengungkapkan cinta secara cuma-cuma. Besok, ketika ia terbangun dari tidurnya, keadaannya akan berbeda. Ia akan kembali ke hari di mana ia dan perempuan itu belum saling mengucap janji. Ia akan kembali ke hari di mana ia dan perempuan itu masih saling menunggu satu sama lain untuk sebuah kepastian. Ia dan perempuan itu akan kembali ke hari di mana mereka hanyalah teman yang berbagi kegembiraan. Ya, teman. Tiba-tiba ia gelisah. Tiba-tiba ia merasa tak siap menghadapi hari esok. Satu tahun yang ganjil, pikirnya. Ia terdiam begitu lama ketika perempuan itu sedang mengajaknya bicara malam itu. Perempuan itu memanggil-manggil namanya. Ada kecemasan pada nada itu. Ia balas memanggil perempuan itu, dengan nada yang teramat lembut. Perempuan itu mengungkapkan rasa cintanya. Ia melakukan hal yang serupa. Tanpa sadar, air matanya menetes pelan dan mulai jatuh.


BEBERAPA menit yang lalu ia terbangun. Telah dipastikannya bahwa kutukan yang menimpanya belum berakhir. Ya, kutukan. Semula ia menganggap itu keajaiban, Tuhan telah memberinya kesempatan untuk menikmati lagi hari-hari bahagianya. Namun kini ia dan perempuan itu tak lagi bersama. Bahkan, dalam beberapa hari ke depan, ia dan perempuan itu akan tak saling mengenali. Ah, kurang tepat. Yang benar adalah ia akan mengenal perempuan itu namun perempuan itu tak akan mengenalnya, ia akan merindukan perempuan itu namun perempuan itu tak akan merindukannya, ia akan jatuh cinta pada perempuan itu namun perempuan itu tidak. Sekali lagi, ia merasa tubuhnya begitu berat. Sepasang sayap itu, yang semula mudah membentang membuatnya seperti melayang, kini tinggal kerangka rapuh dengan bulu yang berlepasan. Ia tak bisa lagi tersenyum. Setiap kali mendengar suara perempuan itu atau membaca pesan darinya, ia selalu membayangkan hari di mana perempuan itu akan menghilang dari kehidupannya. Ini tak adil, pikirnya. Tiba-tiba ia berdoa—sesuatu yang sudah sangat lama tak dilakukannya, “Tuhan, jadikan semua yang kualami ini mimpi, dan bangunkan aku.”


EMPAT Agustus 2011. Malam hari. Beberapa menit lagi sms dari perempuan itu akan tiba. Ia akan berpura-pura menanggapinya seolah-olah ia belum mengenal perempuan itu, seperti pada kejadian pertama. Ia merasa sedih. Malam ini adalah malam terakhir perempuan itu mengenalnya. Percakapan nanti—lewat sms—adalah percakapan terakhir mereka. Besok ia akan menjadi orang asing bagi perempuan itu. Tak akan ada jejak-jejaknya, tak akan ada apapun darinya yang tersisa dalam ingatan perempuan itu. Sudahkah ia siap? Tidak. Nyata sekali ia tak siap. Saat menyadari dalam beberapa detik lagi ia akan terlelap, ia mengucapkan dengan perlahan kepada perempuan itu kata-kata yang pastilah tak didengarnya: aku mencintaimu..

Ia pun terlelap. Kesedihan erat memeluknya hingga pagi tiba. Ia belum tahu, ketika nanti ia terjaga, hari akan kembali bergerak maju, dan ia tak akan ingat telah mengalami satu tahun yang ganjil itu. Semuanya akan kembali normal. Ia dan perempuan itu. Sms mesra dan percakapan dini hari. Hanya yang mendengar cerita ini yang kelak tahu: kehidupannya telah berulang tanpa pernah ia sadari. (*)


Bogor.2012


*Dimuat di Koran Tempo, 30 Desember 2012.

Orang-orang yang Setia*


AKU menggeliat mengeluarkan suara manja, dan seperti biasa, ia tak menoleh. Aku pun bangkit. Kubiarkan selimut yang semula menempel di dada akhirnya terjatuh. Dingin memang. Tapi itu justru memberiku cukup alasan untuk bersegera merangkak mendekatinya dan menekankan payudaraku ke punggungnya. “Sudah terbangun cukup lama?” tanyaku. Ia masih saja tak menghiraukanku dan tampak serius menatap layar laptopnya yang penuh sesak oleh kata-kata.

Aku dan lelaki ini pertama kali bertemu tujuh bulan yang lalu. Saat itu kami sedang sama-sama menghadiri malam penganugerahan para pemenang sebuah sayembara penulisan puisi tingkat nasional di luar kota. Kebetulan, ia lah yang memenangkan sayembara itu. Aku saat itu menghampirinya, sebagai seorang penggemar. Sebelum malam itu aku telah banyak membaca puisi-puisinya yang dimuat di beberapa koran nasional dan jujur saja aku sangat menyukainya. Dan aku senang, karena ia merespon ajakan pertemananku itu dengan hangat. Dan aku lebih senang lagi, karena rupanya lelaki itu tertarik kepadaku—bisa kupastikan itu dari tatapan matanya yang sesekali terarah ke tempat-tempat tertentu. Sebelum akhirnya maju, untuk menerima piala dan berkata-kata di podium, ia meminta nomorku yang bisa ia hubungi. Kuberikan.

Beberapa jam setelah kami berpisah malam itu, ia mengirimiku SMS. Dua hari kemudian, ia meneleponku. Lima hari setelahnya, ia mengatakan ingin sekali bertemu denganku. Maka kubilang, “Ke sini lah. Mungkin kita bisa sekalian berdiskusi soal puisi dan kamu bisa memberitahuku bagaimana caranya memenangkan sebuah sayembara penulisan puisi.” Rupanya, ia menanggapi perkataanku itu dengan serius. Pada hari kedelapan belas sejak malam penganugerahan itu kami bertemu di etalase Sastra Gramedia Botani Square. Ada rasa tersengat, tentu saja, melihat sosoknya itu berdiri (lagi) di hadapanku. Singkat kata kami pun berbicara tentang berbagai hal sambil berkeliling melihat-lihat dan mengomentari buku-buku yang ada di sana. Malamnya, kami berada di sebuah kamar. Ia sempat mengabulkan permintaanku dengan mengajakku berdebat soal baik-buruknya puisi esai lalu mengajariku bagaimana membuat sebuah puisi khusus untuk memenangkan sayembara sebelum akhirnya ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Aku menyukaimu dan ingin kembali bertemu denganmu,” katanya besok harinya, sesaat sebelum ia memasuki bis. Aku tersenyum. Dua bulan setelah saat itu ia datang lagi, dan mengajakku berdebat lagi dan mengajariku lagi menulis puisi khusus untuk sayembara lantas menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Kalau kuhitung-hitung, dengan yang tadi malam, sudah tiga belas kali kami melakukannya.

Di salah satu malam yang kami lalui bersama, aku pernah menanyakan padanya bagaimana sesungguhnya perasaannya padaku. Ia bilang, ia menyukaiku, tapi tak lebih dari itu. Tak bisa. “Kenapa?” tanyaku. “Karena aku sudah memiliki seseorang,” jawabnya. “Dan aku berniat menikahinya, meski tidak dalam waktu dekat,” lanjutnya. Aku pun mengerti. Ia sempat cemas dan bertanya apakah kejujurannya itu mengusikku. Kujawab dengan menciuminya. Pada malam selanjutnya kami bersama ia memberiku sebuket mawar merah dan beberapa buku. “Ini untuk mengurangi rasa bersalahku,” katanya. Kukatakan bahwa itu tak perlu, sebab aku sama sekali tak pernah menganggap ia bersalah. “Tapi aku merasa bersalah,” desaknya. Jadi kuterima saja. Namun rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Kamu tahu, kurasa aku mulai mencintaimu,” ucapnya suatu hari. “Apakah itu berbahaya?” tanyaku. “Sangat,” jawabnya. Namun lagi-lagi rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu..

SEBULAN lamanya sejak saat itu kami tak berkomunikasi. Telepon maupun SMS. Kukira saat itu ia akhirnya memutuskan untuk berhenti dan mulai sepenuhnya mempersiapkan diri untuk membangun masa depannya yang sesungguhnya dengan seseorang itu. Akan tetapi, suatu pagi, ia membangunkanku, dan mengatakan betapa ia merindukanku dan tak bisa berhenti memikirkan malam-malam yang kami lalui bersama itu. “Aku juga,” kataku, yang kemudian kusesali. Beberapa hari setelahnya kami kemudian bertemu. Kali itu aku yang berkunjung ke kota tempat ia tinggal.
Di kamarnya itu, ia begitu antusias menunjukkan padaku buku-buku tentang puisi yang ia miliki. Ia pun berteori, memintaku merespon teori-teorinya dan akhirnya kami berdua terjebak dalam suatu diskusi panas yang nyaris saja membuat kami saling meneriaki satu sama lain. Aku ingat, untuk mengakhiri perdebatan itu aku sampai harus mengalah dengan menyetujui tuduhannya bahwa kredo Afrizal itu berbahaya bagi para penulis muda, bahwa kematangan teknik harus lebih dulu dimiliki untuk menyelami kredo itu. “Jangan sampai seseorang meloncat justru karena ia tak bisa melangkah biasa. Itu namanya melarikan diri,” katanya. Aku mengangguk-angguk saja meski sesungguhnya begitu dongkol dan dalam hati terus bergumam: seorang pelukis surealis toh tidak perlu lebih dulu piawai membuat lukisan-lukisan realis.

Ketika ketegangan sudah benar-benar menghilang, ia akhirnya tersenyum, meraih tanganku, dan berkata, “Aku merindukanmu beberapa hari ini. Sangat.” Beberapa detik setelahnya ia membawaku bersandar di dinding kamarnya lantas menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Dini harinya ketika akhirnya aku terbangun kutemukan ia tengah duduk memunggungiku, dan sepertinya sedang menatap layar laptopnya lekat-lekat. “Kamu sedang menulis puisi?” tanyaku, dan ia sama sekali tak menggubrisnya.


SETELAH beberapa kali menginap di kamar kostnya, barulah aku mengerti bahwa ia memang seperti itu ketika menulis puisi: sama sekali tak bisa diganggu. Beberapa kali usai menulis puisi itu ia meminta maaf, dan selalu langsung kujawab dengan “tak apa”. Di satu waktu ia menjelaskan padaku bahwa puisi yang baru saja dibuatnya itu akan dikirimkannya ke sebuah sayembara dan ia merasa luar biasa puas karena puisi itu seperti apa yang diinginkannya. “Kurasa ini karena aku habis tidur denganmu,” katanya, sebelum menciumku tiga kali. Kukatakan padanya—dengan maksud menggodanya—bahwa sebelumnya ia telah beberapa kali tidur denganku namun sesuatu seperti yang dikatakannya itu tak pernah terjadi. “Itu karena saat itu aku memang tak berniat menulis puisi,” sanggahnya cepat. “Waktu kita kan singkat. Sayang sekali kalau harus kuhabiskan dengan menulis puisi,” sambungnya. Dan kalau kupikir-pikir sekarang, yang dikatakannya itu ada benarnya juga. Selama ini peristiwa aku terbangun dini hari dan menemukan punggungnya yang telanjang hanya terjadi ketika aku mengunjungi kota tempat ia tinggal, menginap dua atau tiga malam di kamar kostnya. Dan kalau kupikir-pikir lagi, rupanya, lelaki ini cukup pintar mengatur waktu. Sejauh ini aku sudah beberapa kali mengunjunginya di kota tempat ia tinggal, menginap dua-tiga malam di kamar kostnya, dan selalu sepanjang waktu itu ia habiskan berdua saja denganku. Kadang itu membuatku bertanya-tanya, apakah ia dan seseorang itu masih bersama-sama.

Suatu malam akhirnya kuutarakan keherananku itu padanya dan ia menjawab cepat, “Masih kok.” Sambil sesekali menatap mataku ia menjelaskan bahwa apapun yang telah terjadi di antara kami, ia tak akan mengubah keputusannya untuk mempersunting seseorang itu kelak. “Apakah kau mencintainya?” tanyaku. “Tentu saja,” jawabnya, dengan raut muka seperti awan gelap yang memadat. Ketika kuungkapkan keherananku dengan sikapnya itu, betapa ia bersikeras memilih seseorang itu sebagai istri namun tak juga berhenti tidur denganku yang berarti ia terus saja mengkhianatinya, ia mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam, “Ia tahu kok apa yang kita lakukan ini.” Lima detik, dua belas detik, kuhabiskan dengan ternganga. “Benarkah itu?” tanyaku. “Ya,” jawabnya. Di sisa malam itu aku terus memikirkannya dan akhirnya aku jadi tak bisa menikmati persetubuhan kami, membuatnya memberengut. Dua minggu setelah saat itu, aku memberanikan diri untuk menemui seseorang itu dan mengajaknya bercakap-cakap.

Sebenarnya, lelaki itu sudah sejak lama mewanti-wanti agar aku tak mencoba-coba menemui seseorang itu. Jika ia tahu pertemuan dan percakapan kami itu, ia tentu akan benar-benar memarahiku. Tapi aku sudah memikirkannya masak-masak selama dua minggu dan kusimpulkan bahwa hari-hariku tak akan tenang jika aku dan seseorang itu tak bertemu. Maka, ketika pertemuan riskan itu terjadi, besar harapanku seseorang itu memberikan pernyataan yang entah bagaimana bisa menghapuskan kegelisahanku.

Namun ternyata, yang terjadi adalah sebaliknya. Usai kuutarakan kepadanya apa yang dikatakan lelaki itu malam itu, respon seseorang itu bukannya tersenyum atau mengangguk atau menyentuh tanganku dan berkata, “Ya. Aku tahu.” Yang kulihat saat itu, sorot matanya memudar, dan tak lama setelahnya setetes air mata meluncur di pipinya yang kiri. Seseorang itu, rupanya tak pernah tahu apa-apa soal kedekatan lelaki itu denganku, soal malam-malam yang kami lalui bersama, soal keputusan lelaki itu untuk melamarnya kelak. Dengan kikuk, aku meminta maaf dan berjanji akan mengakhiri hubunganku dengan lelaki itu, bahkan sekalian saja menghilang dari kehidupan mereka jika memang seseorang itu menginginkannya. Aku sedih, melihat ia seperti itu. Aku membayangkan aku lah yang berada di posisinya. Pastinya hatiku hancur. Namun apa yang dikatakannya kemudian benar-benar tak bisa kupercaya. Ia memintaku untuk meneruskan hubungan rahasiaku dengan lelaki itu. Dan katanya tegas, “Jangan khawatir. Itu tak akan mengganggu hubungan kami. Kami akan baik-baik saja. Dan suatu saat nanti, kami akan menikah.”

Sejak saat itu, aku sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan lelaki itu. Alasan demi alasan kuberikan. Rindu demi rindu aku simpan. Hingga akhirnya, pertemuan itu tak terhindarkan lagi. Ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu..

“Menurutmu, apakah aku ini orang yang setia?” tanyanya.

Aku terpaku, lantas menggeleng.

“Entahlah,” kataku. “Kau bilang apapun yang terjadi di antara kita, istrimu nanti adalah dia. Kurasa, itu suatu wujud kesetiaanmu padanya. Tapi kita—”

“Tak berhenti melakukan hal ini?” potongnya.

“Ya,” jawabku.

Ia diam, beberapa detik.

“Bukankah itu suatu wujud kesetiaanku padamu, bahwa meskipun kelak aku akan menikahi perempuan lain, aku tetap memberikan diriku padamu?”

Giliranku yang terdiam. Benarkah itu? pikirku. Dan senyum di wajah lelaki itu seperti berkata, “Ya.”

Maka aku pun tak lagi ambil pusing dengan semua itu. Biarlah ia kelak menikah dengan seseorang itu dan kami masih terus bertemu seperti ini. Biarlah ia terus mengatakan padaku bahwa seseorang itu baik-baik saja dan apa yang kami lakukan ini tak akan mengganggu hubungan mereka. Satu hal kutanyakan, “Dulu di malam penganugerahan itu, kau sendirian. Mengapa dia tak mendampingimu?” Sambil menyentuh-nyentuh bibirku, ia menjawab, “Malam itu, kami sedang bertengkar.” Oh.. Aku pun sepertinya mengerti mengapa malam itu ia begitu hangat merespon ajakan pertemananku, mengapa malam itu ia mengirimiku SMS dan beberapa hari setelahnya dengan menggebu-gebu ia meneleponku. “Aku mencintaimu,” bisiknya, sebelum akhirnya ia menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu..

Dan saat ini adalah dua puluh tujuh malam setelah saat itu. Baru saja, ia memintaku kembali ke tempat tidur. Baru saja, ia mematikan laptop dan menoleh menatapku penuh arti. Baru saja, ia menanyakan sesuatu yang membuat pipiku rasanya memerah, “Setelah aku dan ia menikah nanti, maukah kau terus menemaniku seperti ini? Maukah kau, setia kepadaku?” Sambil menunggu ia merangkak menghampiriku, aku memikirkan pertanyaannya itu. Barangkali bagi lelaki ini, aku, juga seseorang itu, adalah orang-orang yang akan selalu setia—kepadanya.(*)


Cianjur-Bogor, Maret 2013


*Dimuat di Koran Tempo, 30 Juni 2013.